Apa Itu Preseden? Membedah Makna dan Dampaknya di Dunia Hukum dan Desain

7 Min Read

Pernahkah Anda mendengar kalimat, “Jangan sampai ini menjadi preseden buruk. Anggap saja seperti jejak yang ditinggalkan di jalan setapak; orang-orang berikutnya akan cenderung mengikuti jejak itu agar tidak tersesat”.

Konsep ini paling terkenal di dunia hukum, di mana putusan hakim bisa menentukan arah hukum untuk bertahun-tahun ke depan. Namun, jangan salah, ide menggunakan “contoh dari masa lalu” ini tidak hanya hidup di ruang sidang. Para arsitek, desainer, bahkan ilmuwan juga menggunakannya sebagai sumber inspirasi dan pemecahan masalah.

Artikel ini akan membawa Anda menyelami dunia preseden. Kita akan melihat bagaimana ia bekerja dalam sistem hukum Indonesia, mengintip drama di balik “preseden buruk” yang mengguncang rasa keadilan, hingga melihat bagaimana konsep ini memicu kreativitas dalam rancang bangun. Mari kita mulai!

Apa Sebenarnya Preseden Itu?

Bayangkan Anda sedang memasak. Jika seorang koki andal berhasil menciptakan resep kue yang sempurna, koki-koki lain di dapur yang sama kemungkinan besar akan mengikuti resep itu. Tujuannya? Agar setiap kue yang dihasilkan memiliki kualitas dan rasa yang konsisten. Nah, preseden dalam hukum bekerja dengan logika serupa.

Di Ruang Sidang

Dalam konteks hukum, preseden adalah keputusan pengadilan terdahulu yang menjadi otoritas bagi pengadilan lain saat memutus perkara yang identik atau mirip. Tujuannya sangat fundamental:

  • Menciptakan Konsistensi: Agar kasus A dan kasus B yang faktanya mirip tidak diputus dengan hasil yang sangat berbeda dan sewenang-wenang.
  • Memberikan Kepastian Hukum: Masyarakat dan para penegak hukum jadi punya gambaran tentang bagaimana hukum akan diterapkan.
  • Menjadi Panduan bagi Hakim: Preseden membantu hakim menginterpretasikan hukum dan mengisi kekosongan jika undang-undang tidak mengaturnya secara spesifik.

Dengan adanya preseden, sistem peradilan diharapkan tidak seperti lotre, di mana hasilnya tidak bisa ditebak. Ia membangun sebuah kerangka yang logis dan dapat diandalkan.

Preseden di Indonesia: Terikat atau Sekadar Referensi?

Di sinilah letak perbedaannya. Indonesia menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental), yang berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat atau Inggris yang menganut Common Law.

Dalam sistem Common Law, ada doktrin yang disebut stare decisis, yang artinya hakim wajib terikat pada putusan pengadilan yang lebih tinggi sebelumnya. Preseden di sana adalah hukum itu sendiri.

Di Indonesia, sumber hukum utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang tertulis (kodifikasi). Secara teori, hakim tidak terikat pada preseden. Namun, dalam praktiknya, sistem kita tidak sekaku itu. Indonesia mengenal konsep yurisprudensi, yaitu kumpulan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh hakim-hakim lain dalam kasus serupa.

Meskipun tidak mengikat secara mutlak, yurisprudensi dari Mahkamah Agung memiliki pengaruh besar dan sangat dipertimbangkan untuk menjaga kesatuan hukum. Jadi, bisa dibilang, di Indonesia preseden lebih bersifat sebagai referensi kuat ketimbang perintah yang tak bisa dibantah.

Drama “Preseden Buruk”: Ketika Keadilan Dipertanyakan

preseden artinya
Majelis Hakim sedang membacakan putusan di ruang sidang.

Inilah sisi lain dari preseden yang sering menjadi sorotan publik. “Preseden buruk” adalah label yang diberikan pada putusan pengadilan yang dianggap tidak adil, terlalu ringan, atau mencederai rasa keadilan masyarakat. Putusan semacam ini dikhawatirkan akan menjadi contoh bagi kasus-kasus berikutnya.

Beberapa kasus di Indonesia pernah dicap sebagai preseden buruk, memicu perdebatan luas, di antaranya:

  • Kasus Prita Mulyasari: Kasus pencemaran nama baik melalui email ini dianggap menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat dan perlindungan konsumen pada masanya.
  • Vonis Ringan Koruptor: Banyak putusan yang hanya memberikan hukuman percobaan atau vonis ringan bagi pelaku korupsi, yang dinilai tidak memberikan efek jera dan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi.
  • Putusan Bebas Samin Tan: Putusan yang membebaskan terdakwa kasus korupsi besar ini juga dikecam karena berpotensi menjadi preseden buruk yang melemahkan upaya penegakan hukum.

Sebaliknya, ada juga “preseden baik”. Contohnya, vonis maksimal terhadap pelaku pembuangan limbah ilegal di Depok diapresiasi karena menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa satu putusan hakim bisa berdampak sangat besar, entah untuk membangun atau merusak kepercayaan publik pada sistem hukum.

Bukan Cuma Soal Hukum: Preseden dalam Dunia Arsitektur

Sekarang, mari kita bergeser dari ruang sidang ke meja gambar seorang arsitek. Dalam dunia arsitektur, preseden adalah studi kasus dari bangunan yang sudah ada yang digunakan sebagai referensi, inspirasi, atau alat analisis.

Jika dalam hukum preseden bisa bersifat mengikat, dalam arsitektur ia justru berfungsi untuk membebaskan kreativitas. Arsitek tidak meniru mentah-mentah, melainkan “belajar” dari karya sebelumnya. Ini seperti seorang musisi yang mempelajari karya Mozart bukan untuk menjiplak, tetapi untuk memahami harmoni dan struktur komposisi.

Preseden arsitektur membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:

  • Bagaimana bangunan lain mengatasi masalah lahan yang sempit?
  • Material apa yang cocok untuk fasad di iklim tropis?
  • Bagaimana cara mengatur denah ruang agar alurnya efisien?

Contohnya, sebuah apartemen di Jakarta mungkin mempelajari konsep modular dan balkon kantilever dari proyek lain yang sukses untuk diterapkan dalam desainnya. Atau, sebuah perpustakaan kecil di Bandung dirancang dengan merujuk pada preseden bangunan publik di tengah permukiman. Dengan mempelajari preseden, arsitek memperkaya ide dan menghindari kesalahan yang pernah dibuat orang lain.

Jadi, Preseden Itu Baik atau Buruk?

Setelah menjelajahi dua dunia yang berbeda, kita bisa melihat bahwa preseden adalah alat yang netral. Dampaknya—baik atau buruk—sangat bergantung pada siapa yang membuatnya dan bagaimana ia digunakan.

Di ranah hukum, preseden adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah pilar penjaga konsistensi dan kepastian hukum. Di sisi lain, sebuah “preseden buruk” bisa melanggengkan ketidakadilan dan mengikis kepercayaan publik.

Sementara itu, di dunia arsitektur dan desain, preseden adalah katalisator kreativitas. Ia adalah perpustakaan ide tak terbatas yang memungkinkan para profesional untuk berdiri di atas pundak para raksasa sebelum mereka, belajar dari masa lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Pada akhirnya, nilai sebuah preseden terletak pada kebijaksanaan mereka yang menciptakannya dan mata kritis mereka yang mengikutinya. Ia adalah cerminan dari nilai-nilai kita, baik di hadapan hukum maupun dalam karya cipta.

TAGGED:
Share This Article